foto kebersamaan di sungai hijau bangkinang |
lemang makanan khas Kuantan singingi
Gerak jalan sehat bersama ikatan keluarga kuantan singingi
Badunsanak kito di rantau basatu kito dikampuang halaman. Yang berarti bersaudara-saudara kita dirantau bersatu kita dikampung halaman, begitulah slogan Ikatan Keluarga Kuantan Singingi kota Pekanbaru yang pada tanggal 15 mei 2016 kemaren mengandakan event gerak jalan santai berhadiah di car free day jl.diponegoro kota pekanbaru.
Acara yang diadakan oleh Ikatan Keluarga Kuantan Singingi (IKKS) ini bertujuan adalah untuk menciptakan masyarakat menjadi sehat dan kuat. Dan yang paling penting untuk memperkuat lagi jalinan silahturahmi antara keluarga kuantan singingi yang berdomisili dikota pekanbaru baik itu yang bekerja maupaun mahasiswa/siswayang menuntut ilmu dikota pekanbaru.
Acara ini dihadiri oleh bapak bupati Kuantan singingi itu sendiri yaitu bapak Drs.H.Mursini, M.si dan wakilnya Zulkifli yang baru saja menjabat sebagai Bupati sah kabupaten kuantan singingi beserta para pejabat lainnya yaitu ketua IKKS Pekanbaru dr Taswin Yakub, Tokoh Kuansing Prof Dr Ir H Aras Mulyadi MSc, Ketua PGRI Riau Dr Syahril SPd MM, juga ikut memeriahkan acara gerak jalan santai bersama ikatan keluarga kuantan singingi ini.
Masyarakat kuantan singingi kota pekabaru sangat antusias dengan diadakannya acara ini, tercatat lebih dari 1000 peserta yang mengikuti acara gerak jalan santai tersebut. Lebih dari 1000 orang berpakaian seragam putih yang merupakan seragam acara tersebut memenuhi lokasi car free day jl.diponegoro kota pekanbaru pagi itu baik itu yang tua ataupun muda dosen,karyawan dan peserta didominsi oleh mahasiswa
Start gerak jalan santai ini berlangsung dari simpang tiga lampu merah jalan gajah mada dan begitu spanduk ikatan keluarga kuantan singingi ini dibentangkan peserta langsung bergerak menelusuri lokasi car free day dan lokasi finish tetap ditempat start tadi tersebut. Sesampainya di lokasi start tadi para peserta memperoleh pembagian kupon doorprize. Setelah gerak jalan usai panitia juga mengadakan acara randai. Randai merupakan tarian tradisi kuantan singingi yang diiringi musik daerah kuantan singingi dan kemudian menari membentuk lingkaran dan satu orang ditengah untuk memimpin tarian tersebut.
Setelah itu barulah acara pengundian kupon doorprize dengan hadiahnya yang bermacam-macam saat ini Antusiasme para peserta yang terlihat sejak awal gerak jalan santai dan semakin memuncak ketika hadiah-hadiah doorprize dibagikan kepada peserta yang beruntung mendapatkannya.
Acara ini pun ditutup lagi oleh acara randai hingga selesai.
sumber : https://mardhyaaulia.wordpress.com/
Silat Pangean
Silat di Rantau Kuantan sering pula disebut “Silat Pangean” namun nama “Silat Kuantan” juga pernah menjadi nama yang cukup disegani. Jika diperhatikan para pewaris guru silat di Rantau Kuantan itu, maka sampai tahun 1980-an sudah ada empat generasi yang meneruskan budaya tersebut.
Ada tiga pewaris silat di Rantau Kuantan yang masing-masing menerima gelar tradisional (dari pendahulunya) yaitu “Sutan Nan Garang”, “Baromban”, dan “Jiusu”. Ketiga tokoh inilah yang menghitamputihkan permainan silat di daerah ini. Ketiga tokoh itu mendapatkan jabatan secara garis keturunan dan “ditanam” menjadi guru setelah guru (tokoh) yang tua meninggal atau mengundurkan diri.
Silat (silek) diajarkan di “Laman Silek”. Kegiatan itu dilakukan secara tradisional pada malam hari dalam bulan Ramadhan selepas sholat tarawih sampai waktu dinihari (makan sahur). Permainan diiringi dengan “rarak gondang godang” atau “rarak jaluar”. Permainan dimulai dengan duduk bersujud menghadap kiblat membaca doa (Al Fatihah) dan menyalami guru serta tokoh-tokoh yang berada di laman silek serta diakhiri dengan bersalaman sesama yang bersilat.
Sejarah Silat Pangean
Seorang lelaki dari daerah rantau kuantan (yang dikemudian akan menerima gelar Sutan Nan Garang) awalnya berguru silat ke daerah Lintau Buo Pangean Minang Kabau. Guru silat di lintau Buo itu kemudian berhiba hati karena tingkah laku anak buah (murid-muridnya) yang ingin berebut kekuasaan menggantikan gurunya. Dalam keadaan serupa itu maka lelaki asal Rantau Kuantan tersebut sang Guru pergi ke Rantau Kuantan. Sang Guru menerima tawaran itu, maka berangkatlah mereka berdua menuju Rantau Kuantan. Dalam perjalanan itu daerah yang dituju ialah Koto Tuo Siberakun, suatu kampung asal yang terletak di daerah yang cukup tinggi. Untuk mencapai Koto Tuo itu, mereka mengikuti aliran Batang Kuantan lalu kemudian naik di Gunung Kesiangan ini dengan mudah mereka sampai ke Koto Tuo (Konon dari riwayat itulah Laman Silek Jiusu di negeri Siberakun dibuat setentang atau menghadap ke Gunung Kesiangan sebagai tanda penghormatan atas kedatangan guru silat itu di Koto Tuo Siberakun).
Setelah tiba di Koto Tuo maka didirikanlah oleh Guru tua itu laman silek dengan bantuan muridnya tadi. Maka bergurulah kembali sang murid (yang kemudian bergelar Sutan Nan Garang) kepada guru asal Lintau Buo tersebut. Berselang kemudian maka Sang Guru terpanggil ke hadirat Illahi, maka tinggallah sang murid menggantikan guru dengan gelar Sutan Nan Garang. Kepada Sutan Nan Garang, bergurulah seorang lelaki dari negeri Pangean (di Rantau Kuantan Sekarang) yang kelak menjadi guru silat pula dengan gelar Baromban. Disamping itu ada lagi seorang murid dari negeri Siberakun, yang juga kemudian menjadi guru silat pula dengan gelar Jiusu (Konon singkatan dari Haji Yusuf).
Setelah Barombang dan Jiusu selesai berguru kepada Sutan Nan Garang di Koto Tuo, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing menjadi guru untuk mengajarkan silat. Tetapi terhadap Jiusu dianjurkan oleh Sutan Nan Garang agar berguru lagi kepada Baromban, sebab beliau khawatir jika pelajaran yang diberikannya kepada Barombang jauh melebihi pelajaran yang diberikannya kepada Jiusu.
Atas anjuran sang Guru, bergurulah Jiusu kepada Baromban dengan cara menyamar sebagai orang kebanyakan. Pada suatu hari Barombang mencoba menguji kesetiaan murid-muridnya dengan cara pura-pura sakit perut. Beliau pergi keatas loteng kemudian pura-pura mengerang kesakitan. Dalam tipu daya seperti itu beliau memanggil murid-muridnya minta tolong tampungkan kotorannya (maaf) dari bawah karena beliau tidak sanggup lagi turun kebawah. Tidak ada seorangpun diantara muridnya mau kecuali Jiusu. Setelah Jiusu menyatakan kesediaannya maka ternyata bukan kotoran yang jatuh dari atas, tetapi “godok pisang” (makanan yang digoreng terbuat dari pisang yang diremas dan diaduk) hangat. Dengan ujian tersebut terbuktilah bagaimana Jiusu berkhidmat begitu rupa kepada sang guru sehingga dia menjadi murid kesayangan yang pada akhirnya dia menghirup semua ilmu itu.
Pacu Jalur
Pacu Jalur merupakan sebuah perlombaan mendayung di sungai dengan menggunakan sebuah perahu panjang yang terbuat dari kayu pohon. Panjang perahu ini bisa mencapai 25 hingga 40 meter dan lebar bagian tengah kir-kira 1,3 m s/d 1,5 m, dalam bahasa penduduk setempat, kata Jalur berarti Perahu. Setiap tahunnya, sekitar tanggal 23-26 Agustus, diadakan Festival Pacu Jalur sebagai sebuah acara budaya masyarakat tradisional Kabupaten Kuantan Singingi,Riau bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.[1]
Pacu jalur biasanya dilakukan di Sungai Batang Kuantan. Hal ini tak lepas dari catatan panjang sejarah, Sungai Batang Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir, telah digunakan sebagai jalur pelayaran jalur sejak awal abad ke-17. Dan, di sungai ini pulalah perlombaan pacu jalur pertama kali dilakukan. Sedangkan, arena lomba pacu jalur bentuknya mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan enam tiang pancang.[2]
Sejarah
Sejarah Pacu Jalur berawal abad ke-17, di mana jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan CerentiKecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40-60 orang. Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).[3]
Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Baru pada 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur.[3]
Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. Namun, seiring perkembangan zaman, akhirnya Pacu Jalur diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu Pacu Jalur diadakan sekitar bulan Agustus. Dapat digambarkan saat hari berlangsungnya Pacu Jalur, kota Jalur bagaikan lautan manusia. Terjadi kemacetan lalu lintas di mana-mana, dan masyarakat yang ada diperantauan akan terlihat lagi, mereka akan kembali hanya untuk menyaksikan acara ini. Biasanya jalur yang mengikuti perlombaan, bisa mencapai lebih dari 100. Menurut masyarakat setempat jalur adalah ‘perahu besar’ terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan dengan kapasitas 45-60 orang pendayung (anak pacu).
Pada masa penjajahan Belanda pacu jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat dan untuk memperingati hari kelahiran ratu Belanda wihelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. Kegiatan pacu jalur pada zaman Belanda di mulai pada tanggal 31 agustus s/d 1 atau 2 september. Perayaan pacu jalur tersebut dilombakan selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu
Proses Pembuatan Jalur
Jalur adalah sejenis perahu yang dibuat dari batang kayu utuh, tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau disambung-sambung. Ciri-cirinya adalah kukuh-kuat, ramping, artistik, sehingga pada waktu berpacu tidak dikhawatirkan pecah, jalannya laju dan sedap dipandang. Pembuatan jalur melalui proses yang cukup panjang, yaitu:
- Untuk menyusun rencana kerja pertama-tama diselenggarakan musyawarah atau rapek kampung yang dihadiri oleh berbagai unsur seperti pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu dan pemuda, dipimpin oleh seorang pemuka desa, biasanya pemuka adat. Bila disepakati untuk membuat jalur, lalu ditentukan langkah lebih lanjut.
- Memilih kayu. Kayu yang dicari itu harus memenuhi persyaratan kualitas (jenis), ukuran dan lain-lain, terutama bobot magis atau spi¬ritualnya. Jenis kayu yang dipilih adalah kayu banio, kulim kuyiang atau yang lain, harus lurus panjangnya sekitar 25-30 meter, garis te-ngah 1-2 meter dan mempunyai mambang (sejenis makhluk halus). Harus dipertimbangkan agar setelah menjadi jalur dapat mendukung anak pacu 40-80 orang. Dalam acara pemilihan kayu ini peranan pawang sangat penting. Sesudah pilihan ditentukan dibuatlah upacara semah agar kayu itu tidak “hilang” secara gaib.
- Menebang kayu. Kayu yang sudah disemah oleh pawang lain ditobang dengan alat kapak dan beliung. Dahan dan ranting dipisahkan.
- Memotong ujung. Kayu yang sudah bersih diabung (dipotong) ujungnya menurut ukuran tertentu sesuai dengan panjang jalur yang akan dibuat kemudian kulit kayu dikupas, diukur dibagi atas bagian haluan, telinga, lambung, dan kemudian dengan alat benang.
- Pendadan atau meratakan bagian depan (dada) yakni bagian atas kayu yang memanjang dari pangkal sampai ke ujung.
- Mencaruk, atau mengeruk, melubangi bagian dalam kayu yang panjang itu dengan ketebalan yang seimbang.
- Menggiling atau memperhalus bagian samping atas sehingga terbentuk bagian bibir perahu sekaligus mulai membentuk bagian luar bagian atas.
- Manggaliak atau membalikkan dan menelungkupkan, yang tadinya terletak diatas ganti berada di bawah sehingga bagian luar dapat dikenakan, dirampingkan dengan leluasa. Pekerjaan ini memerlukan perhitungan cermat sebab harus selalu menjaga keseimbangan kete¬balan semua bagian jalur. Cara mengukurnya antara lain dengan membuat lubang-lubang kakok atau bor yang kemudian ditutup lagi dengan semacam pasak.
- Manggaliak atau menelentangkan lagi.
- Membentuk haluan dan kemudi.
- Menghela atau menarik jalur yang sudah setengah jadi itu ke kam¬pung disertai upacara maelo jalur. Disini kegotongroyongan sangat besar artinya.
- Menghaluskan, mengukir terus dinaikkan ke atas ram Account pian lalu diasapi.
- Penurunan jalur ke sungai, selesailah proses pembuatan perahu yang ditutup dengan upacara pula.
Aturan Permainan
Perlombaan Pacu Jalur Taluk Kuantan memakai penilaian sistem gugur. Sehingga peserta yang kalah tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Selain itu juga menggunakan sistem setengah kompetisi. Di mana setiap regu akan bermain beberapa kali, dan regu yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya. Perlombaan meriah ini dimulai dengan tanda yang cukup unik, yaitu dengan membunyikan meriam sebanyak tiga kali. Meriam ini digunakan karena bila memakai peluit, suara peluit tidak akan terdengar oleh peserta lomba. Karena luasnya arena pacu dan riuh penonton yang menyaksikan perlombaan.[1]
Pada dentuman pertama jalur-jalur yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start dengan anggota setiap regu telah berada di dalam jalur. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap (berjaga-jaga) untuk mengayuh dayung. Setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketiga kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung melalui jalur lintasan yang telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan kapasitas jalur serta jumlah peserta pacu dalam lomba ini tidak dipersoalkan, karena ada anggapan bahwa penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan kekuatan kesaktian sang pawang dalam “mengendalikan” jalur
Acara
Kegiatan Pacu Jalur merupakan pesta rakyat yang terbilang sangat meriah. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Pacu Jalur merupakan puncak dari seluruh kegiatan, segala upaya, dan segala keringat yang mereka keluarkan untuk mencari penghidupan selama setahun. Masyarakat Kuantan Singingi dan sekitamya tumpah ruah menyaksikan acara yang ditunggu-tunggu ini
Selain sebagai acara olahraga yang banyak menyedot perhatian masyarakat, festiyal Pacu Jalur juga mempunyai daya tarik magis tersendiri. Festival Pacu Jalur dalam wujudnya memang merupakan hasil budaya dan karya seni khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni, dan olah batin. Namun, masyarakat sekitar sangat percaya bahwa yang banyak menentukan kemenangan dalam perlombaan ini adalah olah batin dari pawang perahu atau dukun perahu. Keyakinan magis ini dapat dilihat dari keseluruhan acara ini, yakni dari persiapan pemilihan kayu, pembuatan perahu, penarikan perahu, hingga acara perlombaan dimulai, yang selalu diiringi oleh ritual-ritual magis. Pacu Jalur dengan demikian merupakan adu tunjuk kekuatan spiritual antar dukun jalur. Selain perlombaan, dalam pesta rakyat ini juga terdapat rangkaian tontonan lainnya, di antaranya Pekan Raya, Pertunjukan Sanggar Tari, pementasan lagu daerah, Randai Kuantan Singingi, dan pementasan kesenian tradisional lainnya dari kabupaten atau kota di Riau.[5]